Tanjung Aan: Antara Janji Penataan, Kepentingan Warga, dan Representasi yang Dipertanyakan

Kilas Nusa, Lombok Tengah, 26 Juni 2025 – Pernyataan dukungan Forum Kepala Desa (FKD) Kecamatan Pujut terhadap penataan kawasan Pantai Tanjung Aan dan pengosongan lapak warga mengundang gelombang kritik dari berbagai pihak, khususnya aktivis lingkungan dan pemerhati keadilan sosial di Nusa Tenggara Barat. Pasalnya, FKD menyatakan bahwa keberadaan bangunan semi permanen di pesisir merupakan bentuk pemanfaatan lahan negara secara ilegal, dan dengan itu menyatakan dukungan penuh pada langkah pemerintah dan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) untuk mengosongkan area demi percepatan investasi.
Namun, pernyataan tersebut justru menimbulkan pertanyaan tajam: untuk siapa sebenarnya para kepala desa bersuara? Apakah mereka masih menjadi representasi masyarakat atau telah bergeser menjadi perpanjangan kepentingan investor?
Pernyataan ini muncul di tengah kebuntuan dalam pertemuan antara ITDC, para investor, dan Pemerintah Daerah yang diwakili oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Lombok Tengah, L. Firman Wijaya. Alih-alih menghasilkan solusi konkret, pertemuan itu justru menyodorkan kebijakan pengosongan sebagai “harga mati” tanpa alternatif lain.
Divisi Kajian Pariwisata, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup dari Kawal NTB memberikan tanggapan tegas atas sikap FKD tersebut. Melalui Ketua Divisi, Lale Uswatun Hasanah, pihaknya menyampaikan kritik keras terhadap kepala desa yang dinilai abai terhadap nasib masyarakat terdampak.
“Kami tidak menolak penataan, tapi kami menolak cara yang menyingkirkan warga tanpa solusi. Kami kecewa melihat kepala desa yang seharusnya menjadi benteng perlindungan warga, justru menyuarakan percepatan pengosongan tanpa ada pembelaan terhadap pelaku usaha kecil yang sudah lama menggantungkan hidup di kawasan itu.”
Lebih jauh, Lale menyebut bahwa sikap Forum Kepala Desa memperlihatkan keberpihakan yang berat sebelah: “Forum Kepala Desa tampaknya lebih sibuk menjaga kelancaran investasi ketimbang memperjuangkan keterlibatan dan nasib warga yang terdampak. Ini bukan hanya soal pembangunan, ini soal keberpihakan.”
Pantai Tanjung Aan, bagian dari zona strategis Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, tengah diarahkan menjadi pusat kegiatan internasional seperti MotoGP dan ajang olahraga global lainnya. Namun, di balik megahnya infrastruktur dan proyek-proyek ambisius, ketimpangan dalam pengelolaan kawasan menjadi semakin kasat mata.
Pelaku usaha kecil yang telah menggantungkan hidup di kawasan ini selama puluhan tahun, hingga kini belum diberikan kejelasan status hukum, akses legal, atau fasilitas pendukung untuk berkembang. Alih-alih diberdayakan, mereka justru diminta angkat kaki dari tanah yang mereka rawat dan manfaatkan selama ini, atas nama “penataan” dan “estetika.”
Dalam sikap resminya, Kawal NTB menegaskan bahwa pembangunan dan investasi harus berjalan dengan prinsip keadilan, keberpihakan pada masyarakat lokal, dan transparansi. Kawal NTB mendorong beberapa langkah konkret: Zonasi legal untuk pelaku usaha lokal, dengan desain tertata dan ramah lingkungan; Skema relokasi yang adil, lengkap dengan pendampingan usaha, pelatihan, dan akses modal; Kemitraan antara investor dan pelaku lokal, agar masyarakat tidak hanya menjadi penonton di tanah sendiri; Pelibatan aktif masyarakat dalam proses penataan, bukan sekadar objek yang diperintah.
“Pembangunan harus adil, manusiawi, dan terukur. Tanjung Aan bukan hanya milik investor. Ia juga milik warga yang merawat, berjualan, dan membangun relasi sosial serta ekonomi di sana. Jika kepala desa tidak berdiri untuk mereka, lalu siapa lagi?” tegas Lale.
Kawal NTB juga menyoroti pernyataan Sekda Lombok Tengah yang menyatakan pengosongan sebagai langkah final, tanpa memberikan alternatif yang layak. Mereka mempertanyakan dasar hukum yang digunakan, terutama dalam mengklaim kawasan sepadan pantai sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
Lebih lanjut, pernyataan yang mengaitkan Tanjung Aan dengan peredaran narkoba tanpa bukti kuat dianggap sebagai manuver konyol untuk menciptakan stigma negatif terhadap kawasan wisata tersebut.
“Sekda perlu belajar sejak kapan sepadan pantai menjadi HPL? Apalagi ada upaya mengkambinghitamkan Tanjung Aan sebagai lokasi peredaran narkoba. Itu tuduhan tidak berdasar dan sangat berbahaya,” tambah Lale.
Kawal NTB menegaskan bahwa mereka bukan anti-investasi atau anti-pembangunan. Namun, pembangunan yang menyingkirkan warga tanpa solusi, meminggirkan suara masyarakat, dan mengedepankan estetika tanpa empati adalah bentuk ketimpangan baru yang harus dilawan.
Dengan komitmen untuk terus mengawal proses ini, Kawal NTB berharap Tanjung Aan tidak menjadi kisah tentang pembangunan yang hanya menyisakan puing-puing sosial.
“Kita butuh pembangunan yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang. Dan untuk itu, kita perlu keberanian untuk bersuara – terutama dari para kepala desa yang dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk oleh investor.”