Ritel Modern Serbu Kawasan Pasar Tradisional, Kawal NTB: Perda Dilanggar, Pemda Tak Berdaya

Kilas Nusa, Lombok Tengah, 9 Juli 2025 – Gelombang ekspansi ritel modern seperti Alfamart dan Indomaret di pusat-pusat ekonomi lokal Kabupaten Lombok Tengah kembali memicu polemik. Divisi Kebijakan Ekonomi dan Sosial Kawal NTB menyoroti lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah daerah, meskipun telah ada regulasi tegas dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 7 Tahun 2021 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Rakyat, Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan.
Fahrurozi, atau yang akrab disapa Ojhi, dari Kawal NTB, menyebut bahwa Perda yang semestinya menjadi tameng perlindungan bagi pedagang kecil, justru tidak dijalankan dengan tegas. Ia menilai, pemerintah daerah “lunak terhadap ritel modern” namun “ganas pada pedagang kaki lima.”
“Perda sudah jelas mengatur soal zonasi dan jarak pendirian ritel modern. Tapi di lapangan, aturan ini dilanggar terang-terangan, terutama di kawasan Pasar Renteng Praya,” tegas Ojhi.
Perda tersebut secara eksplisit mengatur jarak minimal pendirian antara ritel modern dan pasar rakyat. Dalam Pasal 15 dan Pasal 22, tercantum bahwa jarak minimarket waralaba seperti Alfamart atau Indomaret harus paling dekat 1 kilometer dari pasar rakyat, dan 500 meter dari sesama minimarket.
Namun kenyataannya, Kawal NTB mencatat sedikitnya 24 gerai Alfamart di Kota Praya yang didirikan tanpa memperhatikan ketentuan jarak tersebut. Bahkan, banyak yang berdiri berdampingan atau saling berdekatan di bawah 1 kilometer dari pasar rakyat maupun antar sesama ritel waralaba.
“Ini jelas melanggar Pasal 22 ayat 2 huruf j sampai m. Tapi pengusaha tetap dibiarkan leluasa membangun. Pemerintah terlihat tak berkutik,” tambah Ojhi.
Kondisi ini diperparah dengan tumpang tindih kewenangan antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Dinas Perizinan menyatakan tidak mengeluarkan izin langsung, sementara Izin Mendirikan Bangunan (IMB) berada di bawah Dinas PUPR, dan Nomor Induk Berusaha (NIB) kini diproses melalui sistem Online Single Submission (OSS).
Di sisi lain, Satpol PP sebagai penegak Perda, mengaku tidak dapat bertindak tanpa instruksi resmi dari OPD teknis. DPRD Lombok Tengah melalui Komisi II pun telah meminta pengawasan lebih ketat terhadap izin-izin bermasalah ini, termasuk melibatkan camat dan kepala desa dalam verifikasi.
Ekspansi ritel modern yang tak terkendali ini berdampak besar pada pedagang tradisional dan pelaku UMKM. Penurunan omset, persaingan tidak sehat, serta tekanan daya beli masyarakat menjadi keluhan utama para pelaku usaha kecil.
“UMKM kita tidak bisa bersaing dengan ritel modern yang punya modal besar, suplai barang bagus, pelayanan nyaman, dan promosi masif. Banyak yang akhirnya tutup usaha,” ungkap Ojhi.
Menanggapi situasi tersebut, Kawal NTB mengajukan lima rekomendasi konkret: Moratorium penerbitan izin ritel modern hingga regulasi diperbaiki dan dipastikan mampu melindungi UMKM serta pasar rakyat; Verifikasi ulang seluruh izin yang telah keluar – terutama terkait IMB, IUTM, dan jarak lokasi—melalui kolaborasi antar OPD hingga desa; Penegakan tegas Perda oleh Satpol PP, didukung surat resmi dari OPD, serta penerapan sanksi terhadap pelanggar; Pemberdayaan UMKM lokal dengan dukungan pembiayaan, pelatihan digital marketing, dan promosi belanja di pasar tradisional; Sosialisasi publik terhadap isi Perda, agar masyarakat turut terlibat mengawasi dan memilih berbelanja secara bijak di pasar rakyat.
“Kita bukan anti kemajuan, tapi pembangunan harus adil dan berkeadilan. Jangan yang kecil disuruh patuh hukum, sementara yang besar bebas melanggar,” pungkas Ojhi.
Situasi ini menjadi tantangan nyata bagi Pemda Lombok Tengah dalam membuktikan keberpihakan mereka kepada rakyat kecil, serta keseriusan dalam menegakkan hukum daerah yang telah mereka tetapkan sendiri.