Warga Graha Sultan Sekarbela Tolak Keras Akses Perumahan Tahap II Lewati Kawasannya, Tuding Developer Langgar Hak Konsumen

Kilas Nusa, Mataram – Ketegangan mencuat di Perumahan Graha Sultan, Kecamatan Sekarbela, Kota Mataram, setelah warga setempat menyatakan penolakan tegas terhadap rencana penggunaan akses jalan di perumahan mereka untuk menuju ke Perumahan Graha Sultan Tahap II. Warga merasa langkah developer tidak hanya sepihak, tapi juga melanggar hak-hak mereka sebagai konsumen yang telah membeli rumah dengan janji kenyamanan dan keamanan.
Permasalahan ini mencuat setelah tembok pembatas perumahan yang selama ini menjadi penanda batas kawasan dirobohkan oleh pihak pengembang tanpa sepengetahuan dan koordinasi dengan warga. Ironisnya, tindakan tersebut dilakukan saat mayoritas penghuni sedang tidak berada di rumah masing-masing.
“Tembok yang sudah rapi dan tertutup dirobohkan menggunakan alat berat, tanpa konfirmasi kepada warga selaku pemilik rumah di Graha Sultan. Tentu kami tidak ingin kenyamanan kami terganggu. Kami beli rumah ini karena ingin tinggal tenang, bukan jadi jalur lintasan ke perumahan lain,” tegas Hidayat, salah satu warga yang turut menyuarakan penolakan tersebut, Kamis (22/5/25).
Menurut Hidayat, selain tidak ada informasi sejak awal bahwa jalan tersebut akan menjadi akses untuk perumahan lain, denah yang ditunjukkan saat pembelian pun tidak pernah mengindikasikan hal tersebut. Ia menilai, jika jalan yang lebarnya hanya sekitar empat meter itu dijadikan jalur utama ke perumahan tahap II, maka potensi gangguan lalu lintas dan keamanan akan meningkat drastis.
Senada dengan Hidayat, warga lainnya, Taufik, juga menyatakan keberatan keras. “Kalau mau bangun perumahan tahap II, silakan saja. Tapi jangan pakai akses dari perumahan kami. Kami sudah nyaman dengan sistem satu pintu seperti ini,” ujarnya.
Warga kini berencana mengambil langkah hukum. Mereka sepakat akan melaporkan tindakan sepihak tersebut ke Polda NTB, karena dinilai sudah melanggar batas kewenangan dan tidak menghargai hak-hak warga. Tidak hanya itu, warga juga menuntut agar pengembang segera merealisasikan janji pembangunan musala dan fasilitas umum yang hingga kini belum kunjung direalisasikan, padahal tercantum dalam perjanjian awal saat pembelian rumah.
“Kami beli rumah di sini karena ada janji akan dibangunkan musala dan fasilitas umum lainnya. Tapi sampai hari ini belum ada. Sekarang malah tembok dirobohkan tanpa izin. Kami akan tempuh jalur hukum,” tegas Taufik.
Langkah warga tidak hanya berhenti di situ. Mereka telah melayangkan surat keberatan dan permohonan tindak lanjut kepada berbagai pihak berwenang, termasuk Menteri PUPR, Gubernur NTB, Wali Kota Mataram, Ketua DPRD NTB, hingga Kapolda NTB. Mereka berharap, pemerintah segera mengambil sikap tegas dan memanggil pihak pengembang, dalam hal ini PT Citra Jaya Graha, untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.
“Kalau pihak developer tetap memaksakan membuka akses lewat perumahan kami, kami tidak segan-segan akan menutup kembali akses tersebut. Bahkan kalau perlu dengan tindakan tegas. Kami hanya menuntut hak kami sebagai konsumen, yang ingin tinggal di lingkungan yang aman dan nyaman, seperti janji mereka dulu,” pungkas Hidayat.
Perseteruan ini menjadi cermin permasalahan klasik antara warga dan pengembang yang kerap terjadi di berbagai daerah. Ketika janji awal tak ditepati dan hak konsumen terabaikan, konflik pun menjadi tak terhindarkan. Kini, semua mata tertuju pada pihak pemerintah untuk segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini, sebelum situasi semakin memanas.