Tanjung Aan di Persimpangan Jalan: Antara Penataan, Kepentingan Lokal, dan Investasi Global

Kilas Nusa, Lombok Tengah, 22 Juni 2025 — Gelombang diskusi dan perdebatan publik kembali mengemuka seiring dengan penertiban pemukiman dan usaha semi permanen di sekitar Pantai Tanjung Aan, salah satu destinasi unggulan di kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Banyak pihak menyoroti penertiban ini sebagai bentuk “penggusuran” demi pembangunan hotel dan beach club. Namun, di balik polemik tersebut, terdapat dinamika yang lebih kompleks antara kepentingan lokal dan investasi global.
Menurut kajian dari Kawal NTB, melalui pernyataan resminya yang disampaikan oleh Lale Uswatun Hasanah selaku Divisi Kajian Pariwisata, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup, perlu ada pemahaman yang utuh dalam melihat isu ini. “Pro dan kontra adalah hal biasa. Tapi semuanya harus kembali pada aturan yang berlaku serta kearifan lokal,” ujarnya.
Beberapa bangunan semi permanen yang ada di sekitar Pantai Tanjung Aan memang diketahui tidak memiliki izin tetap. Selain itu, menurut laporan dari tim pemantau lapangan, kawasan tersebut juga mengalami degradasi kebersihan lingkungan. Sampah yang tidak terkelola, fasilitas yang tidak terurus, dan pantai yang semakin kumuh menjadi persoalan yang tidak bisa diabaikan.
“Ini justru merusak daya tarik wisata yang seharusnya menjadi kebanggaan Lombok. Jika kita terus membiarkan kawasan ini semrawut, maka kita sendiri yang kehilangan nilai pariwisata yang berharga,” tambah Lale.
Dalam pengembangannya, kawasan Tanjung Aan direncanakan menjadi zona akomodasi resmi berupa hotel dan beach club. Proyek ini bukan semata untuk kepentingan bisnis, tetapi dinilai strategis mengingat letaknya yang berdekatan dengan Sirkuit Mandalika – tempat diselenggarakannya ajang MotoGP dan berbagai event internasional lainnya.
“Pembangunan ini bertujuan menyediakan hunian profesional bagi tamu-tamu penting, dan untuk menaikkan standar pariwisata di kawasan Kuta-Mandalika. Kalau kita ingin bersaing dengan destinasi lain, kita harus siap naik kelas,” jelas Lale.
Lebih lanjut, Kawal NTB menekankan pentingnya menarik investor yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga memiliki komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Meski demikian, Kawal NTB memberikan catatan penting bahwa pembangunan tidak boleh dilakukan secara serampangan. “Penertiban kawasan yang sudah dihuni masyarakat lokal harus dilakukan secara adil dan manusiawi. Harus ada solusi konkret bagi warga atau pelaku usaha lokal yang terdampak,” tegas Lale.
Menurutnya, pembangunan yang ideal adalah pembangunan yang tidak hanya mementingkan estetika semata, tetapi juga memperhatikan pemberdayaan masyarakat sekitar. Melalui pelatihan, kolaborasi usaha, hingga penciptaan lapangan kerja, masyarakat lokal harus menjadi bagian dari proses perubahan.
Dalam penutup pernyataannya, Lale menegaskan bahwa pelestarian alam dan budaya lokal tidak boleh dikorbankan atas nama modernisasi. “Keseimbangan adalah kunci. Kita tidak boleh kehilangan jati diri hanya demi mengejar citra global. Wisata yang bertahan adalah wisata yang berpijak pada akar budaya dan menjaga harmoni dengan alam.”
Dengan segala dinamika yang terjadi di Tanjung Aan saat ini, Lombok tengah berada di titik krusial: antara menjaga warisan lokal atau mengejar peluang global. Masyarakat berharap agar pemerintah dan investor dapat merumuskan pendekatan pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat. Karena hanya dengan cara itu, Tanjung Aan dapat menjadi contoh sukses pembangunan pariwisata yang inklusif dan lestari.