
Kilas Nusa, Lombok Tengah, 25 Juni 2025 – Ketika nama Mandalika disebut, yang terbayang oleh publik adalah sirkuit berkelas dunia, promosi pariwisata gencar, dan ambisi besar pemerintah untuk menjadikan kawasan ini sebagai ikon Destinasi Super Prioritas. Namun, di balik kemegahan yang ditampilkan dalam brosur dan baliho, terdapat kisah pilu yang belum terselesaikan – kisah tentang hak warga yang diabaikan, dan lahan-lahan yang terbengkalai meski telah dikuasai negara.
Hal ini disoroti langsung oleh M. Samsul Qomar, Ketua Kawal NTB, dalam kunjungannya ke kawasan Tanjung Aan, salah satu bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang berada di bawah kewenangan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).
Dalam penelusurannya, Qomar menemukan banyak lahan milik ITDC yang justru dibiarkan kosong dan tak terurus. Rumput liar, semak belukar, dan sampah berserakan menjadi pemandangan umum. Alih-alih dikelola untuk mendatangkan manfaat ekonomi atau sosial, banyak ruang publik ini hanya menjadi simbol pembiaran dan ketidakefisienan pengelolaan.
Ironisnya, dalam waktu yang sama, warga kecil yang menggantungkan hidupnya di garis pantai justru menjadi sasaran penggusuran dengan dalih “penataan Kawasan”. Padahal, menurut Qomar, penertiban itu terasa diskriminatif.
“Warga ditekan atas nama estetika kawasan, sementara ITDC sendiri belum mengelola lahannya dengan baik. Ada area danau, ruang terbuka, dan zona non-pesisir yang dibiarkan terbengkalai. Lalu, penertiban ini sebenarnya untuk siapa?” ujarnya retoris.
Kondisi lebih menyakitkan dialami oleh warga pemilik lahan yang tanahnya sudah dipakai untuk pembangunan fasilitas KEK Mandalika mulai dari jalan, tribun penonton MotoGP, hingga zona acara internasional. Namun sampai hari ini, menurut pengakuan banyak warga, lahan mereka belum dibayar.
Sebagai Ketua Kawal NTB, Qomar menyerukan agar ITDC tidak terus berlindung di balik status proyek strategis nasional. “Masyarakat Lombok bukan anti-pembangunan. Tapi pembangunan yang meminggirkan warga tanpa keadilan harus dikritik,” tegasnya.
Ia menuntut ITDC untuk membuka data secara transparan: Berapa luas lahan yang telah dikuasai tetapi belum dimanfaatkan? Berapa bidang lahan milik warga yang sudah dibangun tapi belum dibayar? Berapa warga yang telah digusur tanpa solusi hunian yang manusiawi?
Sebagai bentuk tekanan moral dan hukum, Qomar mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komnas HAM, serta kementerian terkait untuk melakukan audit dan evaluasi terbuka terhadap ITDC.
“Jangan biarkan Mandalika menjadi proyek mercusuar: tampak gemerlap dari luar, tapi menyisakan kegelapan bagi masyarakat lokal,” tandasnya.
Mandalika seharusnya bukan hanya proyek infrastruktur, tetapi juga proyek peradaban yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keadilan sosial. Jika tanah rakyat bisa dipakai untuk sirkuit balap, maka suara rakyat juga harus bisa melaju di podium tertinggi kebijakan negara.
Apakah kita masih akan berdiam diri ketika pembangunan berubah wujud menjadi penggusuran?