Mengakhiri Perdebatan Konstitusionalitas Model Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

Kilas Nusa, Mataram – Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 model pemilihan kepada daerah sebagai representasi pemerintah lokal di Indonesia belum menemukan bentuknya yang ideal. Sejak awal kemerdekaan yang memulai pemerintahan orde lama hingga berlanjut sampai dengan pemerintahan orde baru sampai era reformasi model pengisian jabatan kepala daerah seringkali terjadi perubahan, baik itu melalui pengangkatan/penunjukan, pemilihan melalui perwakilan oleh DPRD hingga pemilihan langsung oleh rakyat.
Model pemilihan Kepala Daerah di Indonesia dirasakan memang merupakan sebuah perjalanan panjang yang menggambarkan politik hukum yang saling tarik menarik diantara unsur kepentingan dalam negara. Pemilihan kepala daerah juga menggambarkan bagaimana pemerintah pusat mampu memberikan mandat (delivery of mandate) kepada pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi daerah untuk mengatur sendiri urusan daerahnya (domain of power). Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 (lama) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”.
Untuk memahami model pemelihan kepala daerah, sebenarnya bisa dibagi dengan pendekatan perubahan konstitusi yaitu sebelum dan sesudah amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Namun penulis lebih menggunakan pendekatan berbasis sejarah politik di Indonesia yaitu Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi meskipun pada era orde lama terdapat pergantian konstitusi Indonesia yaitu berlakunya Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950) yang relatif singkat hingga berlakunya UUD (1950-1959) pengaturan terkait pemerintah daerah pada Pasal 18 dipecah dalam UUDS menjadi tiga pasal yaitu 131, 132 dan 133 namun sejak berlakunya UUDS Undang-Undang pelaksananya baru dibentuk pada 17 Januari 1957 melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah.
Pada kesimpulannya, Pada masa orde lama pemliihan kepala daerah dimulai dengan pengusulan oleh DPRD sebanyak 2-4 orang kandidat kemudian dipilih dan diangkat oleh Presiden untuk kepala daerah tingkat I dan Menteri dalam negeri untuk daerah tingkat II. Pada akhir masa pemerintahan orde lama, Presiden cenderung sentralistik melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Presiden dapat mengangkat calon kepala daerah diluar usulan DPRD.
Pada masa Orde Baru pengaturan mengenai pengisian jabatan Kepala Daerah setidaknya memiliki beberapa persamaan dimana daerah tingkat 1 dan tingkat II mengusulkan kepada pemerintah pusat sedikit-dikitnya 3 dan maksimal 5 orang sesuai dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 namun sekali lagi hak prerogratif ada pada Presiden untuk memilihnya.
Mahfud MD menilai bahwa selama orde baru telah berkembang konfigurasi politik yang non demokratis ditandai lemahnya Lembaga DPRD dan penentuan lebih banyak pada Eksekutif, pada Orde Baru juga Wakil Kepala Daerah diberikan keleluasaan untuk ditunjuk oleh Kepala Daerah yang terpilih.
Babak Baru Reformasi
Babak baru pengaturan pemilihan Kepala Daerah di Era Reformasi ditandai dengan satu peristiwa utama yaitu gerakan reformasi 1998 yang menandai tumbangnya rezim orde baru dan mendorong amandemen terhadap UUD 1945 sebagai landasan konstitusional tertinggi negara. Pasal 18 yang mengatur Pemerintahan Daerah pada Amandemen kedua tahun 2000 mengalami perubahan yang signifikan. Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah dipecah menjadi 3 Pasal yaitu Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18 B. Secara limitative Pasal 18 ayat (4) menyebutkan “Gubernur, Bupati dan Walikota adalah kepala daerah masing-masing pada tingkat provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Makna kata “dipilih” menurut Prof. Ni’matul Huda memutus model pemilihan secara pengangkatan maupun penunjukan (selected or appointed officials) dilanjutkan kata “demokratis” jika ditinjau dari maksud asli (original intent) hingga pendapat para ahli hukum bisa dilaksanakan melalui pemilihan secara langsung (direct democracy) dan pemilihan secara tidak langsung (indirect democracy) dan konstitusional menurut putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 15/PUU-V /2007 sebagai landmark decision sehingga baik dipilih langsung maupun tidak langsung adalah konstitusional (government by the people either directly or through representative) yang mekanisme pengaturannya diserahkan kepada pembuat Undang-Undang (open legal policy) maka untuk pertama kalinya ditetapkanlan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menandai pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Indonesia.
Maka jika ditinjau dari konstitusionalitas dari model pemilihan sebenarnya kedua model tersebut telah konstitusional namun yang sering terjadi justru problematikanya ada pada legitimasi, peralihan dari dipilih secara langsung menjadi perwakilan. Ketika pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota disahkan yang salah satu poinnya adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD seluruh Indonesia mengalami konstraksi karena hak untuk memilih (right to vote) oleh rakyat direnggut dan dicap sebagai bibit sentralistik atau kembali ke orde baru yang otoritarian sehingga baru dua hari Undang-Undang tersebut berlaku langsung dibatalkan melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2014.
Hal itu juga terjadi baru-baru ini, ketika Presiden ke-8 Republik Indonesia pada acara Munas partai Golkar menyuarakan proposal pemilihan kepala daerah kembali ke DPRD langsung disambut dengan tanggapan variatif cenderung tidak setuju. Hal ini menurut penulis lebih kepada problem legitimasi bukan sekali lagi pada konstitusionalitas dari model pemilihan.
Rekayasa Konstitusional
Diskursus mengenai model pemilihan kepala daerah mesti dilakukan melihat keterbukaan dari konstitusi kita yang tidak menunjuk model pemilihan tertentu secara absolut. Sistem bukanlah sesuatu yang mestinya bersifat kaku (an sich) melainkan produk sosial/politik yang di positifkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mestinya sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dalam hal pemilihan kepala daerah, makna kata “demokratis” tidak merujuk pada satu model tertentu baik itu pemilihan langsung (direct democracy) sekalipun. Sejatinya kata demokratis dapat direkayasa sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai konstitusional demokratis yang menjadi ciri khas demokrasi Indonesia, bukankah hukum mestinya produk social jurisprudence seperti diungkapkah oleh Roscoe Pound bahwa law as a tool of social and political engineering.
Sebagai muara gagasan tentang model pemilihan kepala daerah, menurut penulis Pasal 18 ayat (4) yang menggunakan kata demokratis perlu dilakukan perubahan karena potensi kesalahpahaman tafsir (misunderstanding) karena kekaburan norma (vagueness of norm) perlu dilakukan dengan menjabarkannya menjadi lebih kongkrit menjadi “dipilih secara langsung dan/atau tidak langsung”.
Kedua, dari segi penerapan sebuah kebijakan, hukum mengenal affirmative action yaitu memberlakukan hukum dengan memperhatikan kekhususan, keistimewaan, maupun keberpihakan kepada masyarakat. Misalnya seperti Daerah Otonomi Khusus Papua yang menggunakan sistem noken, Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengikuti tahta dari Sri Sultan Hamengkubuwono dan Adipati Paku Alam, NAD serta DKI Jakarta baru-baru ini Ibu Kota Nusantara juga memiliki kekhususan yaitu dipimpin oleh Kepala Otorita setingkat Menteri dan ditunjuk oleh Presiden atas konsultasi DPR.
Ketiga, perlunya melihat kondisi daerah baik itu secara ekonomi, geografis dan sosiologis. Secara ekonomis, daerah tersebut harus memiliki PAD/Fiskal yang cukup untuk bisa melakukan pemilihan langsung, secara geografis kita sering melihat perbedaan kontur wilayah seperti di beberapa tempat harus melakukan transportasi udara untuk berpindah ke satu distrik ke distrik lainnya karena di keliling perbukitan, atau melawan derasnya arus sungai dari hulu menggunakan sampan sederhana untuk mencapai titik yang dituju ini juga erat kaitannya dengan aspek ekonomis, begitu juga melihat aspek sosiologis atau kebermanfaatan dari sebuah kebijakan.
Pada akhirnya, model pemilihan adalah sebuah rekayasa manusia atas sistem yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, penulis tidak punya pretensi untuk mengarahkan model tertentu apakah langsung, tidak langsung maupun campuran (hybrid). Namun membuka cakrawala bahwa case ini patut untuk di diskusikan.
Penulis: Ahmad Saripudin Nur, S.H., M.H – Peneliti Nusra Institute dan Studi S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Mataram