
Kilas Nusa, Lombok Tengah – Proses pengosongan dan penggusuran lahan di kawasan sepadan pantai Tanjung Aan, Mandalika, kembali menuai sorotan tajam. Ketua Divisi Kebijakan Publik Kawal NTB, Haris Munandar, mengecam keras langkah yang dinilainya melanggar hak asasi manusia (HAM) dan tidak mengedepankan pendekatan yang manusiawi.
Dalam pernyataannya pada Rabu (16/7/25), Haris menegaskan bahwa meskipun tidak ada kekerasan fisik yang terjadi, namun tindakan penggusuran tersebut telah menimbulkan luka mental dan ekonomi bagi 180 pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang selama ini menggantungkan hidup di kawasan tersebut.
“Jadi pelanggaran itu bukan soal kekerasan fisik saja. Luka batin dan ekonomi para pelaku UMKM juga bagian dari pelanggaran HAM. Ini yang harus dipahami oleh semua pihak,” ujarnya.
Kawal NTB juga menyayangkan sikap Pemerintah Daerah dan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) yang dianggap tidak memiliki empati dalam menangani konflik lahan yang terjadi. Haris mengingatkan bahwa penyelesaian persoalan agraria semestinya dilandasi aturan hukum yang adil, norma sosial yang sehat, serta prinsip kemanusiaan yang tinggi agar tidak ada pihak yang dirugikan.
“Sejak dulu, proses penggusuran lahan oleh ITDC selalu menyisakan duka dan air mata,” katanya.
“Bukan hanya soal tempat usaha yang hilang, tapi juga harapan dan sumber penghidupan masyarakat.”
Sebagai pembanding, Haris menyinggung pendekatan yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya dalam menangani masalah serupa. Ia menyebut bahwa pada masa kepemimpinan TGB. Zainul Majdi sempat diberikan tali asih dan kerohiman kepada warga terdampak, sementara di era Gubernur Dr. Zulkiflimansyah telah dilakukan pembayaran kepada 13 kepala keluarga di wilayah Bunut, Kuta.
Kini, perhatian publik mengarah pada kepemimpinan Gubernur NTB saat ini, Dr. H. Lalu Muhamad Iqbal, yang diharapkan dapat menghadirkan penyelesaian yang adil dan beradab atas sengketa lahan seluas 140 hektare yang belum tuntas
“Kita tunggu kebijakan Pak Gubernur. Rakyat menaruh harapan besar agar ada penyelesaian yang tidak menambah luka baru bagi masyarakat,” ungkap Haris.
Terkait dugaan pelanggaran HAM, Haris menyerahkan sepenuhnya kepada Komnas HAM sebagai lembaga independen yang memiliki standar dan mekanisme untuk menilai apakah suatu peristiwa tergolong pelanggaran HAM atau tidak.
Namun ia menegaskan bahwa indikator pelanggaran HAM tidak melulu diukur dari kekerasan fisik semata, melainkan juga dari dampak psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masyarakat.
Dengan kembali mencuatnya konflik agraria di kawasan Mandalika, Kawal NTB mengajak semua pihak untuk duduk bersama dan mencari solusi yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan. Karena kemajuan pariwisata tidak boleh dibangun di atas penderitaan rakyat kecil.