
Kilas Nusa, Mataram, Pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto oleh Presiden Prabowo Subianto telah memicu perdebatan sengit. Keputusan ini, yang diumumkan setelah persetujuan DPR, menghentikan proses hukum terhadap kedua tokoh tersebut. Meski keduanya merupakan bentuk pengampunan dari negara, perbedaan mendasar antara abolisi dan amnesti, serta penerapannya dalam kasus ini, menjadi sorotan tajam.
Beda Makna, Beda Konsekuensi
Abolisi dan amnesti adalah dua dari empat hak prerogatif Presiden yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Namun, keduanya memiliki makna hukum yang berbeda.
Abolisi adalah tindakan presiden untuk menghapuskan tuntutan pidana bagi seseorang yang proses peradilannya belum selesai. Dengan abolisi, proses hukum dihentikan sepenuhnya, dan perbuatan yang dituduhkan dianggap tidak pernah terjadi secara hukum. Dalam kasus Tom Lembong, yang perkaranya masih dalam tahap banding, abolisi menghentikan proses hukum lebih lanjut dan membebaskannya dari segala tuntutan. Ini sejalan dengan argumen kuasa hukumnya yang menyatakan tidak ada mens rea (niat jahat) dalam perbuatannya.
Sebaliknya, amnesti adalah pengampunan yang diberikan kepada terpidana untuk menghapuskan seluruh akibat hukum dari pidana tersebut. Amnesti tidak menghapus perbuatan pidananya, melainkan hanya meniadakan pelaksanaan hukuman. Dalam kasus Hasto Kristiyanto, yang telah divonis 3,5 tahun penjara, amnesti membuatnya tidak perlu menjalani sisa hukuman. Hasto dibebaskan, tetapi secara hukum, ia tetap dianggap bersalah.
Polemik di Ruang Publik
Penerapan abolisi dan amnesti dalam kasus ini memicu pro dan kontra. Di satu sisi, langkah ini dinilai sebagai upaya rekonsiliasi politik untuk merajut kembali persatuan bangsa pasca-dinamika politik yang tajam. Beberapa pihak, termasuk Menkumham, melihatnya sebagai langkah tepat untuk menjaga stabilitas dan kebersamaan. Pendukung keputusan ini juga menyoroti adanya dugaan politisasi hukum dalam kasus tersebut.
Namun, di sisi lain, banyak pegiat antikorupsi dan akademisi mengkritik keras keputusan ini. Pemberian pengampunan bagi terpidana korupsi dianggap melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang telah lama diperjuangkan. Kekhawatiran muncul bahwa ini bisa menjadi preseden buruk di masa depan, di mana kasus korupsi diselesaikan melalui jalur politik, bukan hukum. Kritikus berpendapat bahwa amnesti dan abolisi seharusnya diberikan untuk kasus yang sarat nuansa politik, bukan murni tindak pidana korupsi.
Secara spesifik, perbedaan perlakuan terhadap Tom Lembong dan Hasto juga menjadi sorotan. Abolisi untuk Tom Lembong mengindikasikan perbuatannya tidak dianggap pidana, sementara amnesti untuk Hasto berarti perbuatannya tetap pidana. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah keputusan tersebut murni didasarkan pada pertimbangan hukum, atau merupakan bagian dari manuver politik untuk membangun koalisi?
Implikasi dan Masa Depan Hukum
Keputusan Presiden Prabowo ini menjadi babak baru dalam lanskap hukum dan politik Indonesia. Terlepas dari motifnya, langkah ini menunjukkan bahwa hak prerogatif presiden dapat digunakan untuk menghentikan proses hukum dalam kasus yang memiliki implikasi politik besar. Tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa penggunaan hak istimewa ini tidak mengikis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, terutama dalam kasus korupsi.
Masa depan akan membuktikan apakah langkah ini benar-benar menjadi fondasi rekonsiliasi yang kuat, atau sebaliknya, membuka pintu bagi politisasi hukum yang lebih besar. Penting bagi publik untuk terus mengawasi dan memastikan bahwa prinsip keadilan tetap menjadi pijakan utama dalam setiap kebijakan, terlepas dari dinamika politik yang ada.
Penulis: Michael Anshori, SH., MH