Dana Siluman Pokir DPRD NTB: Kawal NTB Desak Kejati Tetapkan Tersangka Tanpa Pandang Bulu
Kilas Nusa, Mataram — Polemik dugaan dana siluman dalam skema Pokok-pokok Pikiran (Pokir) DPRD NTB kembali menguat setelah Divisi Kebijakan Publik, Hukum, dan Kriminal Kawal NTB, Fahrurrozi atau yang akrab disapa Ojhie, menyampaikan analisis hukumnya terhadap kasus tersebut. Ia menegaskan bahwa struktur peristiwanya telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi, khususnya suap dan gratifikasi, sesuai Undang-Undang Tipikor.
Dalam penjelasannya, pada Jumat (21/11/25), Ojhie mempertanyakan dua hal mendasar yang kini menjadi sorotan publik: apakah penerimaan uang oleh anggota DPRD melalui skema Pokir dapat dikategorikan sebagai suap atau gratifikasi?, Apakah seluruh anggota DPRD yang menerima uang tetap wajib dipidana meskipun uang tersebut telah dikembalikan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Kawal NTB merujuk pada kerangka hukum yang jelas, yakni UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12B, dan Pasal 12C. Selain itu, Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 700K/Pid.Sus/2014 dan No. 225K/Pid.Sus/2015 turut memperkuat konstruksi hukumnya.
Menurut Ojhie, suap dan gratifikasi merupakan delik formil—artinya tindak pidana dianggap selesai pada saat uang diterima, tanpa mempersoalkan apakah uang tersebut dipakai atau dikembalikan. “Pengembalian uang tidak menghapus tindak pidana,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa pemberian uang kepada anggota DPRD terkait penyisipan program dalam Pokir sangat memenuhi unsur dalam Pasal 5 dan Pasal 12B UU Tipikor. Unsur-unsur itu meliputi: adanya penerima, yakni anggota DPRD sebagai penyelenggara negara, adanya pemberian uang dari pihak tertentu, adanya hubungan jabatan, karena uang diduga diberikan untuk mempengaruhi kebijakan.
Lebih jauh, Ojhie menyoroti bahwa uang yang diterima tidak dilaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari sebagaimana diwajibkan Pasal 12C. Akibatnya, pemberian tersebut otomatis dikategorikan sebagai gratifikasi yang dianggap sebagai suap.
Secara normatif, Kawal NTB menilai bahwa seluruh anggota DPRD yang menerima uang wajib dipidana. “Suap adalah delik dua pihak; pemberi dan penerima sama-sama bersalah. Penerima tetap dipidana meskipun uang dikembalikan,” jelas Ojhie.
Kawal NTB juga mendorong Kejaksaan Tinggi NTB untuk menetapkan seluruh penerima dana sebagai tersangka apabila dua alat bukti telah terpenuhi. Mereka menegaskan bahwa penerima uang yang ingin mendapatkan keringanan dapat mengajukan diri sebagai justice collaborator.
Tak hanya soal Pokir, Kawal NTB turut menyoroti beberapa kasus dugaan korupsi besar yang dinilai mandek di Aparat Penegak Hukum (APH). Diantaranya: dugaan korupsi PPJ yang sedang ditangani Kejari Praya, kasus Air Mancur Muhajirin dengan anggaran Rp3 miliar yang belum diproses Polda NTB, kasus Kubah Masjid Agung dengan nilai Rp5 miliar yang juga dinilai stagnan.
“Kawal NTB mendukung penuh penuntasan kasus-kasus korupsi di NTB, terlebih jika nilai kerugiannya di atas satu miliar rupiah,” ujar Ojhie.
Dengan desakan ini, Kawal NTB berharap aparat penegak hukum bergerak lebih tegas, transparan, dan konsisten dalam menuntaskan perkara yang menjadi perhatian publik. Transparansi dan keberanian menindak—tanpa pandang jabatan maupun posisi politik—dinilai sebagai kunci dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum dan pemerintahan daerah.
