Kilas Nusa, Mataram — Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pekerja Nasional (DPD SPN) Provinsi Nusa Tenggara Barat menyoroti secara serius kebijakan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) NTB yang dinilai belum mencerminkan keadilan dan kelayakan hidup buruh.
Tambahan UMP yang hanya berkisar sekitar Rp70 ribu dipandang sebagai simbol betapa rendahnya penghargaan terhadap kerja keras buruh yang menopang roda perekonomian daerah.
DPD SPN NTB menilai, angka tersebut tidak sebanding dengan beban kerja dan kenaikan biaya hidup yang terus meningkat. Dalam praktiknya, tambahan upah tersebut bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar harian, sehingga memunculkan ironi mendalam di tengah jargon pembangunan daerah “NTB Makmur Mendunia.”
“Jika dihitung secara jujur, tambahan upah tersebut nyaris tak lebih mahal dari harga sarapan pagi. Ini bukan sekadar soal angka, tetapi soal martabat buruh,” tegas Ketua DPD SPN NTB dalam pernyataan resminya Mataram (24/12/25).
Serikat buruh juga mengingatkan kembali janji-janji pemimpin daerah sebelum menjabat, yang kala itu menyatakan komitmen untuk selalu mendengar suara buruh dan berpihak pada rakyat kecil. Namun realitas kebijakan hari ini menunjukkan adanya jarak yang semakin lebar antara janji dan tindakan nyata.
Menurut DPD SPN NTB, konsep “NTB Makmur Mendunia” justru berisiko dimaknai keliru apabila kemakmuran hanya dilihat dari sudut pandang investasi, sementara buruh—sebagai tulang punggung produksi—terus ditekan dengan upah murah. Kondisi ini berpotensi menjadikan NTB dikenal sebagai daerah berupah rendah, bukan sebagai daerah yang sejahtera dan berkeadilan.
DPD SPN NTB juga menyoroti narasi pengentasan kemiskinan dan kemiskinan ekstrem hingga nol persen yang kerap digaungkan. Target tersebut dinilai sulit tercapai apabila kebijakan pengupahan tidak berpijak pada prinsip upah layak. Bantuan sosial, menurut serikat buruh, bukanlah solusi jangka panjang, melainkan hanya penyangga sementara untuk menunda dampak kemiskinan.
“Buruh tidak ingin hidup dari bantuan. Buruh ingin hidup dari hasil keringatnya sendiri secara bermartabat,” lanjut pernyataan tersebut.
Dengan upah yang layak, buruh diyakini mampu memenuhi kebutuhan keluarga, berkontribusi pada perputaran ekonomi lokal, bahkan berbagi kepada sesama. Oleh karena itu, tuntutan upah layak bukanlah permintaan berlebihan, melainkan hak dasar pekerja yang dijamin secara moral dan konstitusional.
DPD SPN NTB menegaskan, janji pemimpin bukan untuk dikenang dalam pidato, tetapi untuk diwujudkan dalam kebijakan nyata yang berpihak pada keadilan sosial.
“Upah layak adalah fondasi kemakmuran yang sesungguhnya,” tutup pernyataan tersebut.
