
Penulis: Dr. Ainuddin, SH., MH
Di tengah gegap gempita ekonomi digital dan janji-janji kemajuan teknologi, ada sebuah kenyataan pahit yang jarang dibicarakan: lahirnya sebuah kelas sosial baru yang disebut prekariat. Kata ini bukan sekadar istilah akademis, melainkan cerminan dari realitas hidup jutaan orang. Kata “prekariat” merupakan gabungan dari “prekarius,” yang berarti tidak pasti, dan “proletariat,” yang merujuk pada kelas pekerja. Singkatnya, prekariat adalah mereka yang hidup dan bekerja dalam ketidakpastian, sebuah kondisi yang perlahan-lahan menggerogoti stabilitas sosial dan ekonomi. Ketidakpastian ini bukanlah hal sepele; ia adalah sebuah cara hidup yang baru, di mana jaring pengaman sosial yang dulu ada perlahan menghilang. Kondisi ini membuat mereka hidup dalam ketakutan akan hari esok, sebuah perasaan yang asing bagi generasi sebelumnya.
Lantas, siapa sebenarnya prekariat ini? Mereka adalah kelompok yang tidak memiliki pekerjaan tetap, pendapatannya tidak menentu, dan perlindungan sosialnya minim. Mereka bisa jadi adalah para lulusan universitas dengan gelar mentereng, namun terpaksa bekerja sebagai pekerja lepas dengan upah harian. Mereka bisa jadi para pekerja kreatif di bidang digital marketing yang setiap bulan harus cemas menunggu proyek baru. Mereka juga bisa jadi para pengemudi ojek online, kurir paket, guru honorer yang upahnya jauh dari kata layak, atau bahkan para buruh pabrik yang bekerja dengan sistem kontrak yang bisa diputus kapan saja.
Persamaan mereka hanya satu: mereka tidak memiliki kepastian. Mereka tidak tahu apakah bulan depan masih akan memiliki pekerjaan. Mereka tidak memiliki jaminan bahwa jika mereka sakit, akan ada biaya pengobatan yang terjamin. Jauh di lubuk hati, mereka juga bertanya-tanya, apakah saat tua nanti, mereka akan memiliki jaminan hidup yang layak? Kekhawatiran ini menjadi beban mental yang berat, menciptakan generasi yang hidup dengan kecemasan konstan.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di negara-negara maju, melainkan juga sangat terasa di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) secara konsisten menunjukkan bahwa mayoritas tenaga kerja di negeri ini masih berada di sektor informal. Sektor informal inilah yang menjadi “ladang subur” bagi tumbuhnya prekariat. Di sektor ini, perlindungan hukum dan jaminan sosial hampir tidak ada. Pekerjaan datang dan pergi, dan upah sering kali jauh di bawah standar minimum. Kondisi ini membuat mereka sangat rentan terhadap guncangan ekonomi sekecil apa pun.
Mengapa prekariat ini muncul? Salah satu faktor utamanya adalah perubahan ekonomi global. Sistem ekonomi neoliberal yang mengglobal mendorong fleksibilitas tenaga kerja. Dalam teori, fleksibilitas ini dianggap baik untuk perusahaan karena dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan pasar. Namun, dalam praktiknya, fleksibilitas ini sering kali berarti mengorbankan keamanan kerja bagi para pekerja. Perusahaan lebih memilih merekrut pekerja kontrak atau freelancer daripada mempekerjakan karyawan tetap, demi efisiensi biaya dan fleksibilitas. Paradigma ini telah menggeser hubungan antara pengusaha dan pekerja, dari sebuah kemitraan yang stabil menjadi sebuah hubungan transaksional yang rapuh.
Faktor berikutnya adalah kemajuan teknologi dan otomatisasi. Mesin-mesin pintar dan robot kini mengambil alih banyak pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh manusia, terutama pekerjaan-pekerjaan yang bersifat repetitif. Meskipun teknologi menciptakan jenis pekerjaan baru, pekerjaan-pekerjaan tersebut cenderung bersifat kontrak atau berbasis proyek. Alih-alih mendapatkan pekerjaan tetap dengan jaminan, para pekerja harus terus-menerus mengasah keterampilan agar tidak tertinggal. Kondisi ini memaksa mereka untuk terus belajar, namun tanpa jaminan bahwa usaha itu akan membuahkan hasil berupa pekerjaan yang stabil.
Globalisasi juga memainkan peran penting. Persaingan internasional yang semakin ketat memaksa perusahaan-perusahaan untuk mencari tenaga kerja yang murah dan fleksibel. Perusahaan yang tidak bisa bersaing akan kalah. Akibatnya, banyak perusahaan di negara-negara maju memindahkan produksinya ke negara-negara berkembang dengan upah yang lebih rendah. Sementara itu, di negara berkembang, perusahaan-perusahaan lokal juga dipaksa untuk menerapkan strategi yang sama agar bisa bertahan. Hal ini menciptakan perlombaan ke bawah (race to the bottom) di mana upah dan jaminan pekerja terus tertekan, menciptakan kondisi yang ideal untuk tumbuhnya prekariat.
Ironisnya, pendidikan yang seharusnya menjadi jembatan menuju kehidupan yang lebih baik, kini tak lagi memberikan jaminan. Di Indonesia, setiap tahunnya ribuan sarjana lulus dari universitas. Namun, banyak dari mereka yang justru harus bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan ilmunya, dengan upah yang rendah, dan yang paling penting, tanpa jaminan kerja. Gelar sarjana yang dulu menjadi simbol kepastian, kini hanya menjadi formalitas yang belum tentu bisa menjamin masa depan yang stabil. Mereka menjadi bagian dari prekariat intelektual, yang secara pendidikan mumpuni, tetapi secara ekonomi rapuh.
Dampak Sosial dan Politik dari Munculnya Prekariat
Prekariat bukan sekadar persoalan dompet yang tipis. Dampaknya jauh lebih dalam dan berbahaya. Hidup dalam ketidakpastian yang kronis dalam jangka panjang akan menggerogoti rasa aman seseorang. Kondisi ini memicu stres, depresi, dan berbagai masalah kesehatan mental lainnya. Kecemasan akan hari esok menjadi teman sehari-hari. Rasa aman yang hilang ini juga memengaruhi hubungan sosial, di mana mereka merasa terisolasi dan sulit untuk membangun rencana jangka panjang bersama keluarga atau pasangan.
Guy Standing, seorang ekonom yang mempopulerkan istilah ini, menyebut prekariat sebagai “kelas yang berbahaya.” Bukan karena mereka kriminal, tetapi karena mereka merasa tidak diakui, ditinggalkan, dan tidak memiliki suara dalam sistem. Perasaan ini, jika dibiarkan, bisa berujung pada dua hal yang berpotensi destabilisasi sosial dan politik.
Pertama, apatisme politik. Ketika mereka merasa bahwa pemerintah dan sistem yang ada tidak lagi mewakili kepentingan mereka, mereka akan kehilangan kepercayaan. Mereka berhenti peduli pada politik, pada pemilihan umum, dan pada janji-janji kampanye. Mereka merasa bahwa apa pun yang mereka lakukan, tidak akan ada perubahan. Apatisme ini bisa sangat merusak, karena ia menciptakan jurang antara rakyat dan negara, melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri.
Kedua, meningkatnya dukungan pada gerakan atau tokoh populis. Di sisi lain, prekariat yang merasa muak dengan kondisi yang ada bisa menjadi lahan subur bagi tokoh-tokoh populis yang menjanjikan perubahan instan. Tokoh-tokoh ini sering kali menawarkan solusi yang sederhana dan emosional, menyalahkan pihak lain, dan menjanjikan pemulihan “kejayaan” di masa lalu. Bagi prekariat yang putus asa, janji-janji ini terdengar sangat menarik. Mereka melihat tokoh populis sebagai satu-satunya harapan untuk keluar dari jurang ketidakpastian.
Langkah-langkah Menghadapi Ancaman Prekariat
Prekariat adalah cermin dari ketidaksetaraan yang menganga di balik ilusi kemajuan ekonomi. Oleh karena itu, fenomena ini tidak bisa diabaikan. Negara harus mengambil peran sentral dalam mengatasi masalah ini. Salah satu langkah terpenting adalah menyediakan perlindungan sosial universal. Perlindungan ini tidak boleh hanya berlaku bagi pekerja formal, tetapi juga harus mencakup pekerja informal, freelancer, dan semua orang yang bekerja di sektor apa pun. Perlindungan ini bisa berupa jaminan kesehatan, jaminan pensiun, atau bahkan pendapatan dasar universal (universal basic income) yang dapat memberikan rasa aman minimum.
Selain itu, negara juga perlu memperluas kesempatan kerja yang layak dengan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adil. Ini berarti negara harus memastikan bahwa kontrak kerja tidak hanya menguntungkan perusahaan, tetapi juga melindungi hak-hak pekerja. Kebijakan ini juga harus mendorong upah yang layak, jam kerja yang adil, dan lingkungan kerja yang aman. Perlu ada regulasi yang lebih ketat untuk mencegah eksploitasi di sektor informal dan gig economy.
Sektor swasta juga memiliki tanggung jawab besar. Perusahaan-perusahaan tidak bisa terus-menerus bersembunyi di balik fleksibilitas kerja. Mereka harus mulai memikirkan kesejahteraan jangka panjang para pekerjanya. Memberikan jaminan kesehatan, tunjangan, dan kesempatan untuk peningkatan karier, bahkan kepada pekerja kontrak, akan menciptakan ekosistem kerja yang lebih adil dan berkelanjutan.
Selain peran negara dan perusahaan, inisiatif dari masyarakat sipil juga sangat penting. Serikat pekerja harus beradaptasi dengan realitas prekariat. Mereka tidak bisa lagi hanya fokus pada pekerja pabrik atau pekerja formal. Mereka harus merangkul para pengemudi ojek online, para freelancer, dan pekerja informal lainnya. Dengan bersatu, mereka dapat menjadi kekuatan tawar-menawar yang lebih kuat untuk menyuarakan tuntutan hak-hak mereka. Solidaritas adalah kunci.
Langkah lain yang harus diambil adalah mendorong pelatihan keterampilan baru agar tenaga kerja siap menghadapi perubahan zaman. Namun, pelatihan ini tidak boleh hanya bersifat teknis. Ia juga harus menekankan pada keterampilan yang tidak bisa digantikan oleh mesin, seperti kreativitas, berpikir kritis, dan kemampuan beradaptasi. Penting juga untuk memastikan bahwa pelatihan ini mudah diakses dan terjangkau oleh semua orang, terutama bagi mereka yang paling rentan.
Kita harus menyadari bahwa bekerja keras saja tidak cukup jika sistem tidak memberi ruang aman untuk berkembang. Prekariat adalah cermin bahwa kemajuan ekonomi yang kita banggakan selama ini tidak selalu berarti kesejahteraan merata. Ia adalah alarm yang mengingatkan kita bahwa jika kita terus membiarkan kesenjangan ini melebar, maka fondasi sosial kita akan menjadi rapuh. Ketidakpastian yang dirasakan oleh satu orang pada akhirnya akan menjadi ketidakpastian bagi kita semua.
Jika kita menginginkan masa depan yang stabil dan adil, kita harus memastikan bahwa semua pekerja—apapun bentuk pekerjaannya—mendapat perlindungan yang layak. Kesejahteraan harus menjadi tujuan utama, bukan sekadar produk sampingan dari pertumbuhan ekonomi. Kita harus membangun kembali jaring pengaman sosial yang telah terkoyak, dan menciptakan sebuah sistem yang menghargai setiap pekerjaan, terlepas dari statusnya.
Sebab, ketika terlalu banyak orang hidup dalam ketidakpastian, maka ketidakpastian itu pada akhirnya akan menjadi masalah kita bersama. Masalah ini akan merambat dari ranah ekonomi ke ranah sosial, dari ranah sosial ke ranah politik, hingga akhirnya mengancam stabilitas seluruh bangsa. Mengabaikan prekariat adalah seperti mengabaikan retakan pada fondasi rumah. Pada akhirnya, retakan itu akan membesar dan membuat seluruh bangunan runtuh.