Negara, Pemblokiran Rekening, dan Rp12 Triliun yang Membisu: Telaah Kritis atas Kebijakan Publik

Penulis: Dr. Ainuddin, SH., MH (Akademisi dan Praktisi Hukum)
Belakangan ini, peristiwa pemblokiran puluhan juta rekening bank oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjadi sorotan tajam publik dan akademisi. Berdasarkan data resmi, PPATK menangguhkan sementara transaksi sekitar 122 juta rekening dormant (tidak aktif) guna mencegah penyalahgunaan seperti pencucian uang dan pendanaan terorisme. Kebijakan ini diumumkan pada Mei 2025 dan menuai kritik luas, terutama karena penerapannya yang massif dan dampak signifikan bagi nasabah.
Setiap rekening yang diblokir lalu dikenakan biaya pembukaan blokir sebesar Rp100.000. Jika dikalkulasikan, pungutan ini berpotensi menghasilkan pendapatan hingga Rp12 triliun – angka yang sangat besar dan layak dipertanyakan pengelolaannya serta dasar hukumnya.
Wewenang PPATK dalam Konteks Hukum
PPATK beroperasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010). Lembaga ini memiliki kewenangan untuk memblokir rekening yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang. Namun, UU tersebut mensyaratkan adanya indikasi dan bukti yang cukup sebagai dasar tindakan, serta prinsip proporsionalitas dan perlindungan hak warga negara.
Dalam praktiknya, kebijakan pemblokiran ini diberlakukan terhadap rekening tidak aktif selama 3 hingga 12 bulan, sesuai kebijakan internal bank masing-masing, tanpa definisi eksplisit tentang akun dormant di UU atau aturan teknis lain. Hal ini memunculkan pertanyaan kritis mengenai apakah pemblokiran massal tersebut sudah sesuai dengan ketentuan hukum dan perlindungan hak nasabah yang adil.
Legalitas dan Akuntabilitas Pungutan
Pengenaan biaya Rp100.000 sebagai syarat membuka blokir rekening pun masih dipertanyakan dasar hukumnya. Hingga saat ini, belum ada regulasi eksplisit yang mengatur pungutan semacam ini sebagai biaya resmi dari negara atau lembaga terkait. Ketiadaan transparansi pengelolaan dana potensial Rp12 triliun dari pembukaan blokir memunculkan kekhawatiran adanya penyalahgunaan wewenang dan potensi praktik pungutan liar yang terabaikan pengawasan publik dan legislatif.
Pengamat hukum dan anggota komisi DPR telah mengkritik kurangnya sosialisasi dan akuntabilitas kebijakan ini sehingga menimbulkan beban sosial yang tidak perlu bagi masyarakat.
Demokrasi dan Hak Konstitusional
Kebijakan ini menjadi ujian bagi prinsip demokrasi dan supremasi hukum Indonesia. Pasal 28H UUD 1945 menjamin hak atas kepemilikan dan penggunaan harta pribadi yang dilindungi negara. Pemblokiran massal dan pungutan tanpa proses transparan bertentangan dengan prinsip tersebut dan semangat demokrasi yang mewajibkan keterbukaan, partisipasi publik, dan perlakuan adil.
Ketua Komnas HAM juga berencana memanggil PPATK untuk mempertanyakan aspek hak asasi dari kebijakan ini, menandakan isu ini tidak sekadar administrasi melainkan menyentuh ranah perlindungan HAM dan kebijakan publik.
Implikasi Sosial dan Ekonomi
Situasi ini terjadi di tengah kondisi sosial ekonomi nasional yang sudah penuh tekanan: kenaikan harga bahan pokok, ketidakpastian lapangan kerja, dan biaya pendidikan yang meningkat. Pemblokiran rekening dan pungutan membuka blokir menambah beban masyarakat, khususnya mereka yang menggantungkan hidup pada tabungan dan transaksi rutin di rekening yang diblokir.
Ekonom dan praktisi keuangan mengingatkan bahwa pemblokiran sepihak tanpa mekanisme pemulihan hak yang memadai dapat mengganggu likuiditas household dan UMKM serta melemahkan kepercayaan terhadap sistem perbankan.
Urgensi Akuntabilitas dan Pemulihan Hak
Negara wajib bertanggung jawab penuh melalui audit independen dan pengawasan dari DPR serta mekanisme kompensasi yang adil bagi nasabah yang tidak bersalah. Jika tidak, masyarakat terbuka untuk menempuh jalur hukum baik via pengaduan di Ombudsman, gugatan perdata, hingga gugatan class action.
Kesimpulan
Pemblokiran massal rekening dormant oleh PPATK dan pengenaan biaya pembukaan blokir membawa implikasi hukum, sosial-ekonomi, dan demokrasi yang sangat serius. Kebijakan yang ideal harus berlandaskan transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak warga negara. Negara harus membuktikan bahwa ia adalah pelindung hak warga, bukan alat penghisap tanpa pertanggungjawaban.