Jalan Rusak, Sungai Tanpa Jembatan: Potret Pilu Anak Negeri di Ujung Barat Flores

Kilas Nusa, Labuan Bajo, 15 Oktober 2025 — Suara tawa anak-anak sore itu terdengar di kejauhan, berpadu dengan gemericik air sungai yang mengalir di Desa Bari, Kecamatan Macan Pacar, Kabupaten Manggarai Barat. Namun, di balik keceriaan mereka, tersimpan perjuangan yang menggetarkan hati — seragam sekolah yang basah, kaki kecil yang melangkah di atas bebatuan licin, dan wajah lelah yang menatap jalan berlubang penuh lumpur menuju rumah.
Pemandangan inilah yang disaksikan langsung oleh Lalu Wira Sakti, Ketua Exco Partai Buruh Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), saat dalam perjalanan dinasnya menuju Desa Bari. Kunjungan yang awalnya bertujuan untuk menangani kasus sengketa tanah itu berubah menjadi perjalanan batin yang membuka mata.
“Miris sekali melihat anak-anak negeri di era reformasi seperti ini. Ketika kita bicara soal visi Indonesia Emas 2045, tapi di pelosok Manggarai Barat anak-anak masih harus membuka sepatu dan menyeberangi sungai setiap hari hanya untuk bersekolah,” ujar Lalu dengan nada getir.
Manggarai Barat, dengan Labuan Bajo sebagai ikon pariwisata dunia, mungkin dikenal lewat keindahan laut dan bukitnya. Namun, hanya beberapa jam dari pusat kota, potret lain dari “Indonesia sesungguhnya” tampak begitu kontras.
“Beberapa desa yang saya kunjungi belum punya aliran listrik. Malam tiba, gelap gulita menyelimuti rumah-rumah warga. Air bersih pun sulit didapat, dan jalan yang mereka lalui belum pernah diaspal puluhan tahun,” tutur Lalu, yang juga menjabat sebagai Ketua DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) NTB.
Ia mengaku tak kuasa menahan haru melihat perjuangan masyarakat di sana.
“Para pemimpin harus membuka mata. Jangan hanya bicara tentang digitalisasi dan investasi besar, sementara rakyat di pelosok masih berjuang menyeberangi sungai demi sekolah dan bekerja. Ini bukan sekadar soal infrastruktur, tapi soal keadilan sosial,” tegasnya.
Sebagai aktivis buruh dan pemerhati sosial, Lalu Wira Sakti menilai bahwa pembangunan nasional seharusnya menyentuh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya berfokus di wilayah-wilayah yang disorot kamera dan dipoles untuk turis.
Ia menyerukan agar pemerintah daerah dan pusat benar-benar mendengar suara rakyat di pelosok — suara yang selama ini nyaris tenggelam di tengah hiruk-pikuk pembangunan kota besar.
“Jangan biarkan anak-anak negeri kehilangan harapan karena jalan rusak dan sungai tanpa jembatan. Indonesia Emas 2045 tidak akan berarti apa-apa jika masih ada generasi yang harus bertaruh nyawa hanya untuk menuntut ilmu,” katanya penuh penekanan.
Kisah di Desa Bari bukan sekadar potret keterlambatan pembangunan, tetapi juga panggilan nurani bagi bangsa ini. Di saat sebagian besar daerah menikmati kemajuan teknologi, masih ada anak-anak Indonesia yang harus menyeberangi sungai tanpa alas kaki agar bisa membaca dan menulis.
“Kalau kita benar-benar ingin menuju Indonesia Emas 2045, maka kita harus mulai dari dasar — dari desa, dari anak-anak seperti mereka, dari jembatan yang belum pernah dibangun,” tutup Lalu Wira Sakti, advokat sekaligus pejuang sosial yang tak ingin masa depan negeri ini hanya berhenti pada slogan.