Modus Tipu-tipu Berkedok Mitra MBG, Pengusaha Catering di Lombok Tengah Merugi Puluhan Juta

Kilas Nusa, Lombok Tengah – Harapan besar Ernawati, seorang pengusaha katering di Kecamatan Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah, untuk menjadi mitra penyedia makanan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG), kini berubah menjadi kekecewaan mendalam. Niatnya berkontribusi dalam program nasional tersebut justru membuatnya harus menelan kerugian hingga puluhan juta rupiah akibat dugaan penipuan oleh oknum yang mengaku sebagai penentu pelaksanaan program.
Kepala dapur MBG UD. eR3 Catering ini menceritakan bahwa dirinya telah menyerahkan uang senilai Rp80 juta kepada seorang oknum berinisial I, yang diklaim sebagai pengatur jaringan mitra MBG dari Jakarta, melalui perantara bernama SM. “Uang itu saya serahkan pada Desember 2024 lalu, dengan harapan dapur kami bisa segera beroperasi sebagai mitra MBG,” tutur Ernawati.
Dari jumlah tersebut, Rp35 juta disebut sebagai biaya pembuatan akun MBG dan pengurusan profil perusahaan katering. Tak hanya itu, Ernawati juga diminta membayar DP pembelian ompreng (tempat makan) sebesar Rp45 juta kepada penyedia yang ditunjuk oleh oknum tersebut.
Namun, pembelian ompreng itu pun janggal. Awalnya harga per biji ditetapkan Rp45.000, lalu naik menjadi Rp65.000 pada Januari 2025, dan kembali melonjak menjadi Rp85.000 di Maret 2025 dengan kewajiban membeli sebanyak 3.000 biji secara bertahap. “Padahal saya cek, harga ompreng di pasaran cuma Rp43 ribu,” keluh Ernawati.
Tak berhenti di sana, Ernawati juga diarahkan menyewa dua unit mobil box untuk operasional dengan biaya sewa Rp6,7 juta per unit per bulan dari sebuah perusahaan rent car. Namun, hingga kini kendaraan tersebut belum juga dipakai. “Bulan Januari kami sudah sewa, tapi sampai sekarang mobilnya belum digunakan. Pemiliknya bahkan sempat ingin menarik kendaraan itu,” ujarnya lagi.
Yang membuatnya semakin tertekan, Ernawati diminta berkomitmen menyisihkan Rp600 dari setiap porsi makanan sebagai uang keamanan. Dengan estimasi 3.500 porsi per hari, maka Ernawati harus menyiapkan sekitar Rp46 juta lebih per bulan. Uang itu katanya untuk mengamankan semua pihak, kalau tidak disetorkan, kami dianggap mengundurkan diri dari program,” jelasnya.
Setelah semua persyaratan dipenuhi, Ernawati justru mendapati bahwa dapur MBG-nya tidak juga diizinkan beroperasi. Berbagai alasan dilontarkan, mulai dari belum adanya Sarjana Pengerak Pembangunan Indonesia (SPPI), hingga masalah legalitas NIB yang disebut-sebut harus berbentuk yayasan. “Padahal dapur lain yang saya tahu tetap beroperasi walau NIB-nya berbentuk UD. Kalau alasannya harus berbentuk yayasan, kenapa hanya dapur saya yang ditahan?” keluhnya.
Kini, Ernawati hanya berharap keadilan bisa ditegakkan, dan pihak-pihak berwenang segera menindaklanjuti kasus ini. Ia juga mengimbau para pelaku usaha lain untuk berhati-hati dan memverifikasi informasi langsung dari sumber resmi. “Jangan sampai harapan berkontribusi untuk negeri malah berubah jadi kerugian dan trauma seperti yang saya alami,” pungkasnya.