SPN–KSPI NTB Tegaskan UMP 2026 Minimal 6,5–7 Persen, Unsur Serikat di Dewan Pengupahan Diminta Tidak Khianati Mandat Buruh
Kilas Nusa, Mataram, 18 Desember 2025 — Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Serikat Pekerja Nasional (SPN) Provinsi Nusa Tenggara Barat bersama Pimpinan Daerah (PERDA) Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) NTB secara tegas menyuarakan tuntutan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) NTB Tahun 2026. Mereka menekankan bahwa kenaikan upah wajib berada pada kisaran minimal 6,5 hingga 7 persen sebagai standar wajar dan berkeadilan bagi buruh.
Penegasan tersebut didasarkan pada perhitungan pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, serta indeks tertentu (α) dengan periode penghitungan Oktober 2024 hingga November 2025. Selain itu, tuntutan tersebut juga merujuk secara tegas pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang menegaskan prinsip keadilan dan perlindungan terhadap hak pekerja dalam kebijakan pengupahan.
SPN–KSPI NTB menilai, kenaikan UMP Tahun 2026 setidaknya harus sama dengan kenaikan upah tahun sebelumnya, yakni 6,5 persen sebagaimana UMP Tahun 2025 yang ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Menurut mereka, tidak ada alasan rasional maupun keadilan sosial apabila kenaikan UMP 2026 justru lebih rendah, sementara tekanan inflasi dan biaya hidup buruh terus meningkat.
Dalam kurun Oktober 2024 hingga November 2025, inflasi di NTB tercatat berada di kisaran ±3 persen. Kondisi tersebut secara langsung berdampak pada penurunan daya beli pekerja. Di sisi lain, meskipun pertumbuhan ekonomi NTB mengalami dinamika dan perlambatan pada sebagian tahun 2025, peran tenaga kerja tetap menjadi faktor utama penggerak roda ekonomi daerah. Oleh karena itu, SPN–KSPI NTB menilai kenaikan UMP di bawah 6,5 persen tidak mencerminkan kondisi riil NTB serta bertentangan dengan semangat Putusan MK 168.
Lebih lanjut, SPN–KSPI NTB mengingatkan unsur serikat pekerja/buruh yang duduk di Dewan Pengupahan Provinsi NTB agar tidak mengkhianati mandat perjuangan buruh. Keberadaan unsur serikat di Dewan Pengupahan, menurut SPN–KSPI NTB, bukan sekadar formalitas, melainkan representasi suara dan kepentingan pekerja.
“Unsur serikat tidak boleh menjadi alat legitimasi kebijakan upah murah, tidak boleh berkompromi dengan kepentingan di luar buruh, serta wajib berpijak pada fakta objektif dan amanat konstitusi,” tegas Ketua SPN–KSPI NTB.
Selain itu, SPN–KSPI NTB juga menyatakan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah tentang pengupahan yang disusun tanpa pelibatan KSPI dan federasi-federasi di bawahnya, termasuk SPN. Mereka menilai regulasi tersebut bertentangan dengan prinsip dialog sosial dan tidak sejalan dengan Putusan MK 168, sehingga tidak layak dijadikan satu-satunya dasar penetapan UMP NTB Tahun 2026.
Sebagai bentuk keseriusan sikap, SPN–KSPI NTB menyampaikan ultimatum kepada pemerintah daerah. Apabila UMP NTB Tahun 2026 ditetapkan di bawah 6,5 persen, tidak sesuai Putusan MK 168, serta mengabaikan kondisi riil buruh NTB, maka organisasi buruh tersebut menyatakan siap mengawal keputusan tersebut secara serius.
Langkah lanjutan yang akan ditempuh mencakup konsolidasi internal hingga aksi terbuka yang konstitusional dan terorganisir.
“Kenaikan UMP 6,5–7 persen adalah standar wajar, bukan tuntutan berlebihan. Menurunkannya berarti mengingkari keadilan dan mandat konstitusi,” tegas Lalu Wira Sakti, S.H., Ketua DPD SPN Provinsi NTB sekaligus Pimpinan Daerah KSPI NTB.
