
Kilas Nusa, Lombok Tengah – Kritik keras dilayangkan kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah terkait kebijakan melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai “bapak asuh” dalam upaya penanganan stunting. Kebijakan tersebut dinilai tidak populis dan cenderung sebagai bentuk lepas tangan dari tanggung jawab pemerintah.
Direktur Kawal NTB, M. Samsul Qomar, menyebut bahwa status Lombok Tengah sebagai zona merah stunting seharusnya menjadi beban utama pemerintah daerah, bukan ASN.
“Masalah stunting adalah tanggung jawab pemerintah. Jangan sampai ASN dijadikan kambing hitam atas kegagalan kebijakan dan lemahnya alokasi anggaran,” tegas Samsul Qomar.
Ia menyayangkan langkah Pemkab Loteng yang lebih memilih melempar tanggung jawab kepada ASN daripada duduk bersama DPRD untuk mencari formula kebijakan yang lebih konstruktif dan berdampak jangka panjang.
Menurutnya, langkah ideal untuk mengatasi stunting adalah intervensi langsung melalui anggaran yang memadai, khususnya untuk peningkatan gizi ibu hamil dan anak-anak yang terdampak. Ia menilai bahwa pemerintah bisa saja mengevaluasi sejumlah program pembangunan yang belum mendesak.
“Pembangunan Bencingah yang menelan anggaran hingga Rp20 miliar, misalnya, bisa ditunda dan dananya dialihkan untuk program pemenuhan gizi. Atau memotong sebagian Pokir (Pokok Pikiran) anggota dewan yang kurang berdampak pada ekonomi rakyat,” ujarnya.
Lebih lanjut, Samsul Qomar juga menyoroti kultur birokrasi yang menurutnya sudah lama terbebani dengan berbagai iuran tak resmi. Mulai dari iuran Baznas, yayasan, hingga partisipasi untuk acara-acara tertentu yang cenderung bersifat sukarela namun menjadi beban rutin.
“Mau berkurban ada iurannya, acara ini itu diminta partisipasi, belum lagi iuran sosial lainnya. Kalau ini terus dibiarkan, maka ASN kita hanya jadi ATM berjalan,” keluhnya.
Kawal NTB dengan tegas meminta pemerintah menghentikan kebiasaan lama yang kerap menjadikan ASN sebagai ‘mesin penutup lubang anggaran’. Jika dibiarkan, menurutnya, birokrasi di Loteng akan kehilangan integritas karena terlalu banyak beban non-tugas pokok yang disematkan secara sepihak.
“Kalau setiap solusi yang diambil pemerintah hanya berupa iuran ASN, maka bisa kita sebut bahwa standar manajerial birokrasi kita adalah sekadar ‘standar iuran ASN’. Ini jelas mencederai semangat reformasi birokrasi,” tukasnya.
Di akhir pernyataannya, Samsul menekankan bahwa stunting adalah isu serius yang harus ditangani dengan tanggung jawab penuh oleh eksekutif dan legislatif.
“Mereka yang pegang anggaran harus segera mengalokasikannya secara serius. Jangan lagi lempar tanggung jawab. Fokus saja pada pemenuhan gizi ibu hamil dan balita yang terdampak. Itu inti persoalannya,” pungkasnya.
Jika dikelola dengan tepat, penanganan stunting bisa menjadi salah satu tonggak keberhasilan pembangunan SDM di daerah. Namun jika malah menjadi beban tambahan bagi ASN tanpa arah kebijakan yang jelas, maka upaya ini hanya akan berakhir sebagai rutinitas formalitas belaka.