
Kilas Nusa, Lombok Tengah – Polemik pelantikan Lalu Firman Wijaya sebagai Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Lombok Tengah kembali mencuat. Kali ini, giliran mantan anggota DPRD Loteng, Fathurahman, yang angkat suara. Ia menilai pelantikan tersebut cacat secara hukum dan bertentangan dengan sejumlah regulasi penting, termasuk Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga (Permenpora) Nomor 14 Tahun 2024 Pasal 17 ayat 1 poin a dan e.
Fathurahman, yang juga pernah menjabat sebagai pengurus KONI Loteng periode 2021–2025, menyatakan bahwa dirinya memahami betul aturan dasar dalam dunia keorganisasian olahraga. “Saya ini pernah menjadi bagian dari KONI, jadi sangat paham soal kitab suci berorganisasi seperti AD/ART KONI dan peraturan turunannya,” tegasnya saat ditemui Kamis, (01/05/25).
Menurut Fatah, sapaan akrabnya, Permenpora No. 14 Tahun 2024 secara jelas menyebutkan bahwa calon Ketua KONI harus memiliki pengalaman sebagai pengurus cabang olahraga (Cabor) selama minimal lima tahun. “Pertanyaannya, sudah berapa tahun Lalu Firman menjabat sebagai Ketua Cabor? Saya yakin belum sampai lima tahun, bahkan belum pernah menjadi pengurus KONI sebelumnya,” ujar Fatah dengan nada serius.
Tak berhenti di situ, Fatah juga mengungkap adanya pelanggaran lain yang dinilai sangat mendasar. Ia menyebut bahwa calon Ketua KONI dilarang memegang lebih dari satu organisasi olahraga prestasi. Namun, berdasarkan informasi yang ia pegang, Lalu Firman saat ini diketahui memimpin dua Cabor sekaligus, yakni Ikatan Motor Indonesia (IMI) dan Ikatan Sepeda Sport Indonesia (ISSI) Lombok Tengah. “Ini jelas-jelas pelanggaran. Dua-duanya adalah organisasi olahraga prestasi. Jadi secara hukum, pelantikannya tidak sah,” tandas Fatah yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Cabor Tarung Derajat (Boxer) Loteng.
Fatah juga menyayangkan sikap KONI Provinsi NTB yang dinilai abai terhadap pelanggaran ini. Ia menyebut ada dugaan tekanan dan kepentingan tertentu di balik keputusan pelantikan tersebut, salah satunya terkait pencairan dana hibah sebesar Rp2 miliar. “KONI Provinsi seperti menutup mata terhadap aturan, seolah pelantikan ini dikejar demi mengamankan dana hibah. Ini sangat disayangkan,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa SK pelantikan yang dikeluarkan berpotensi batal demi hukum jika terbukti menyalahi aturan. “Ini bisa jadi preseden buruk bagi dunia olahraga di NTB. Kita sedang bicara soal tata kelola organisasi yang sehat dan berintegritas. Kalau dari awal saja sudah melanggar, bagaimana nanti membina prestasi?” pungkasnya.
Polemik ini menambah daftar panjang konflik internal dalam tubuh KONI Loteng. Sejumlah pihak kini menanti langkah lanjutan, baik dari aparat penegak hukum maupun dari lembaga arbitrase olahraga nasional seperti BAORI, yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa organisasi olahraga secara independen dan final.