
Kilas Nusa, Sumbawa – Terkuak fakta mengejutkan terkait utang besar yang dibebankan pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumbawa sebesar Rp 70,2 miliar selama tahun 2021-2022. Informasi ini terungkap dalam pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) di Mataram, di mana Direktur RSUD Sumbawa, dr. Nieta Ariani, memberikan kesaksian terkait suap dan gratifikasi dalam proyek pengadaan barang dan jasa RSUD Sumbawa tahun 2022 yang melibatkan mantan Direktur RSUD Sumbawa, dr. Dede Hasan Basri.
Dalam kesaksian tersebut, dr. Nieta Ariani mengungkapkan asal muasal utang yang mencapai Rp 70,2 miliar tersebut. Utang tersebut berasal dari sejumlah rekanan pengadaan barang dan jasa, seperti PT Astagraphia Xprins Indonesia, PT Inovasi Medik Indonesia, PT Eksa Medika Mandiri, PT Bumi Indah Sarana Meli, PT Bentek, PT Gemaindo Mandiri, PT Herbal Medikal, PT SCPG, dan PT Megah Alkasindo. Utang juga berasal dari jasa pelayanan RSUD Sumbawa yang belum terbayar, termasuk BPJS, bansos Covid-19, dan jasa umum.
Diketahui bahwa utang tersebut terutang saat dr. Dede Hasan Basri masih menjabat sebagai Direktur RSUD Sumbawa. Sejak mengambil alih jabatan Direktur RSUD Sumbawa pada Februari 2023, dr. Nieta Ariani telah melakukan pembayaran utang tersebut, karena utang tersebut menghambat proses pembelian barang melalui sistem e-purchasing. Pembayaran utang dilakukan menggunakan pendapatan RSUD Sumbawa tahun 2023, yang mencapai rata-rata Rp 5 miliar per bulan. Saat itu, saldo rumah sakit hanya tersisa Rp 101 juta.
Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumbawa, Indra Zulkarnain, telah memulai penyelidikan terkait utang RSUD Sumbawa. Pengumpulan data dan bahan keterangan sedang dilakukan, dan laporan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menjadi acuan dalam penyelidikan ini. Meskipun dr. Dede Hasan Basri menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi, tanggung jawab atas temuan utang ini masih dalam penyelidikan lebih lanjut.
Kasus ini juga melibatkan pengadaan barang dan jasa RSUD Sumbawa yang menggunakan mekanisme penunjukan langsung, yang berpotensi bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, terdapat dugaan penyimpangan dalam anggaran jasa pelayanan kesehatan (jaspelkes) yang mengaitkan sejumlah pejabat dalam penerimaan keistimewaan. Semua aspek ini akan terus diperiksa dalam proses hukum yang berlanjut. (*)