
Kilas Nusa, Mataram – Yuga Anggana kembali muncul bergerak pada ranah pelestarian alam dan budaya di Nusa Tenggara Barat. Akademisi yang mengajar seni di Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD), Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Mataram ini tidak hanya dikenal sebagai dosen kampus, tetapi juga sebagai konseptor aktif dalam pergerakan budaya berbasis komunitas. Tahun ini, ia kembali dipercaya sebagai penggagas utama Perhelatan Molang Maliq Mualan Benyer 2025 – sebuah gelaran budaya yang akan diselenggarakan di Desa Telagawaru, Pringgabaya, Lombok Timur, pada bulan Juni 2025.
Perjalanan Yuga bersama masyarakat Telagawaru bermula pada tahun 2022 ketika ia melakukan penelitian akademik mengenai ritus adat di wilayah mata air Mualan Benyer. Dari riset itu, ia tak hanya menghasilkan sebuah karya ilmiah, tetapi juga menjalin hubungan emosional dan kolaboratif dengan masyarakat desa. Penelitian tersebut kemudian dilirik oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV, yang pada 2023 mendukungnya untuk diangkat menjadi sebuah film dokumenter. Hasilnya, dokumenter dan buku tersebut menarik perhatian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTB, hingga akhirnya berhasil mengantarkan ritus Molang Maliq menjadi Warisan Budaya Takbenda Republik Indonesia pada tahun 2024.
Di luar tugas akademiknya, Yuga dikenal sebagai sosok seniman serba bisa: pencipta lagu, produser musik, konseptor seni pertunjukan, dan penggerak komunitas. Ia memadukan keilmuannya sebagai dosen seni dengan kepedulian terhadap pelestarian budaya lokal. Tahun 2023, ia menggagas perhelatan Molang Maliq sebagai program pemajuan kebudayaan berbasis masyarakat. Bersama Perkumpulan Seni Menduli Selayar dan Pemerintah Desa Telagawaru, Yuga merancang rangkaian kegiatan mulai dari sosialisasi, workshop seni dan lingkungan, gotong royong pembersihan kawasan mata air, penanaman pohon, hingga pameran UMKM lokal.
Di bawah rancangannya, perhelatan tersebut bukan sekadar acara seremonial, melainkan wadah transformasi sosial-budaya. Seni tradisi yang hampir punah diberi ruang untuk tampil kembali, bahkan dikembangkan dalam format inovatif oleh generasi muda. Mata air yang sebelumnya terbengkalai, kini menjadi ruang publik yang hidup dan asri. Tak heran jika program ini mendapat dukungan penuh dari Kementerian Kebudayaan melalui skema Dana Indonesiana.
Atas keberhasilannya, Yuga tidak hanya dipuji, tetapi juga diangkat sebagai pembina tetap dalam bidang pemajuan kebudayaan dan pengembangan pariwisata oleh Pemerintah Desa Telagawaru. Ia menyambut kepercayaan itu dengan serius, menjadikan desa tersebut sebagai desa binaan untuk proyek-proyek kebudayaan jangka panjang.
Menatap tahun 2025, Yuga kembali memimpin perhelatan Molang Maliq dengan semangat baru: menekankan pentingnya kemandirian masyarakat desa dalam menjaga kebudayaan dan alam mereka sendiri. Fokusnya kali ini adalah regenerasi dan kemandirian, dengan melibatkan karang taruna dan remaja masjid sebagai mitra utama dalam pelatihan, produksi seni, dan aktivasi ruang-ruang budaya.
Yuga berharap model kolaboratif antara akademisi dan masyarakat desa ini bisa menjadi contoh bagi pemajuan kebudayaan di daerah lain. Ia pun membuka peluang untuk memperluas sinergi antara dirinya, UIN Mataram, serta Pemerintah Kabupaten Lombok Timur dalam mendukung pelestarian budaya, lingkungan, dan penguatan UMKM lokal yang berkelanjutan.
“Bagi saya, menjadi dosen bukan hanya mengajar di kelas. Kampus adalah titik tolak, tapi pengabdian di tengah masyarakat adalah panggilan jiwa. Di Desa Telagawaru, saya merasa ilmu, seni, dan kemanusiaan menyatu dalam satu napas,” ujar Yuga Anggana. (*)